BELANDA MEMBERI GANTI RUGI ATAS PEMBANTAIAN MASSAL 1945

Belanda memberi ganti rugi terkait perlakuan tidak berperi kemanusiaan atas pembantaian massal sejumlah rakyat Indonesia tahun 1945 sampai 1950. Kebanyakan korban pembunuhan pada masa itu berasal dari kalangan lelaki yang meninggalkan anak istri selama – lamanya sebagai praktek kekejaman pemerintah Belanda.

Dalam sebuah pers conference, Belanda berjanji akan menyiapkan ganti rugi senilai lima ribu euro atau kurang lebih sekitaran 90 juta rupiah. Pemberian biaya gratis ini hanya dikhususkan kepada pihak anak dari korban eksekusi Belanda selama kurun waktu 1945 menuju 1950 saja.

Menteri Luar Negeri Belanda yaitu Stef Blok mengiyakan statement tersebut sebagai sebuah keputusan resmi dari pihak Belanda. Pemerintahannya hanya mengajukan sebuah syarat, yaitu siapapun yang mengajukan ganti rugi harus membawa bukti kuat bahwa ia memang keluarga dari mendiang korban pembunuhan Belanda.

Kompensasi tersebut menimbulkan kontroversi karena cukup sulit menemukan bukti sahih akibat minimnya data administrasi zaman itu. Lagipula nilainya tidak seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan yang harus dialami keluarga korban selama lebih dari tujuh dekade berlalu.

Bagaimanapun, pihak Indonesia menerima maksud baik dari pemerintahan Belanda yang mana menyatakan rasa bersalahnya sebagai mantan penjajah. Sebelumnya, sekumpulan janda beserta anak – anak dari sebelas lelaki yang tereksekusi di wilayah Sulawesi Selatan tahun 1946 telah mengajukan banding dan diterima oleh Belanda.

BELANDA MEMBERI GANTI RUGI DEMI MENUNTASKAN KASUS GUGATAN TERHADAPNYA

Para warga negara Indonesia yang menuntut Belanda memberi ganti rugi cukup memusingkan kepala para pejabat negara di sana. Pasalnya sebuah persidangan gugatan mengenai kekejaman militer tersebut bisa berlarut – larut hingga tak kunjung usai pula.

Pada akhirnya, telah diputuskan bahwa si korban yang menuntut ganti rugi haruslah membawa sejumlah dokumen sebagai syarat wajib pengajuan proposal. Beberapa di antaranya yaitu bukti dokumentasi seperti foto maupun surat perintah resmi eksekusi saat itu, lalu melacak identitas serta hubungan darah antara korban dan keluarganya.

Semuanya berawal dari terangkatnya kasus pembantaian ketika Kapten Raymond Westerling masih memimpin regional Sulawesi Selatan pada 1946 silam. Pada masa itu, Westerling mengemban tugas untuk menghabisi siapapun yang terindikasi sebagai pejuang maupun simpatisan kemerdekaan Indonesia.

Beberapa dari penuntut asal Indonesia berhasil membuktikan identitas leluhurnya sehingga Belanda mencairkan ganti rugi tersebut. Nilainya sekitaran dua puluh ribu euro banyaknya, atau ketika dirupiahkan menjadi hampir Rp350 juta apabila mengacu kepada kurs sekarang, ketok palunya pada tahun 2013.

Masalah baru pun muncul, karena timbul kecemburuan sosial bahwasanya Belanda hanya menyetujui pencairan uang terhadap janda saja. Sontak keluarga korban yang berposisi sebagai pihak anak merasa keberatan sebab ia merasa terkucilkan dan tidak dianggap keberadaannya.

TEBANG PILIH PENCAIRAN DANA GANTI RUGI TERHADAP PARA PENUNTUT

Sebenarnya, sempat Belanda memberi ganti rugi terhadap sebagian kecil pihak anak dari sang korban namun nominalnya mengecewakan. Contoh kasusnya baru saja terjadi pada akhir September lalu, manakala pihak penuntut yaitu Malik Abubakar hanya menerima 875 euro atau kurang lebih 15 juta rupiah saja sebagai ganti ruginya.

Mendengar keputusan tersebut, terang saja seketika para keluarga korban naik pitam karena merasa dilecehkan oleh pihak Belanda. Mereka berujar bahwa seharusnya tidak ada tebang pilih yaitu baik si anak maupun janda korban semestinya menerima ganti rugi yang sama senilai 20 ribu euro.

Mereka melanjutkan, bahwasanya dari segi moral maka sang janda masih bisa menikah lagi pasca kematian suaminya oleh Belanda. Namun anak yang kini menjadi yatim kehilangan sosok pencari nafkah sehingga putus sekolah serta kesulitan menata masa depan selama puluhan tahun lamanya.

Salah satu penuntut dari kelompok pihak anak korban cukup vokal menyuarakan aspirasinya bernama Syamsir Halik yang juga aktivis LSM Lidik Pro. Menurut hasil penyelidikannya, terdapat sedikitnya hampir 150 orang anak korban yang ditemukan masih hidup hingga saat ini.

Saking malunya atas peristiwa ini, Raja Belanda yaitu Willem Alexander berkunjung ke Indonesia secara langsung sekitaran bulan Maret 2020 belum lama ini. Ia secara pribadi memohon maaf sebesar – besarnya atas segala kekejaman militer mereka di masa lampau yang begitu keji. Sama kejamnya dengan kelakuan pemerintah rezim Korut parade senjata meski corona masih menghantui dunia saat ini.